DESKRIPSI KASUS
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas
I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga
petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di
luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan
setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya
berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi
atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan
anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang
cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit.
Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh
bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang
sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan
latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut
sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama
dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik,
dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu
bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan
temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli.
Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya
pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta
ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh
sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa
naik kelas atau tidak
MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia
memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional,
manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan
mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya
dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak
segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan
(sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan
yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis
dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk
melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan
emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan
cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya.
Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran
dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang
dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional
atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh
orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan
memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat
dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus
terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok
dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang
sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus
berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya.
Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang
dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap
saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak
berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena
semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya
terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya
dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri
pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan /
mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di
SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan
penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun
konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap
(dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan
akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu
terjadi.
TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis /
realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu
diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah
memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan /
kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman
lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia,
mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari
pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif,
sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip
belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa
Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah,
sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor
lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta
pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri
menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang
benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri.
Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan
status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah
mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri
suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh,
bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan
realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik,
50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut
semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini
diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah
sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan
salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia
melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan
yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling
behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah
akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial
modeling dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan
pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah
dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin
melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri
sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah
dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang
menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi
hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk
memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang
merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan
tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk
berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan
realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif.
Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor
maupun konseli
2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai
cocok untuk bermacam ragam konseli
3. Kesegaran hasil yang dicapai,
4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat
dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis
untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah
sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar
bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima
pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan
secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari
kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas
kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap
untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi
untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan
yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan
metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang
terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar